Rabu, 08 Juli 2009

Idealis (?)

Ada dua anak kerdil
Yang satu membawa tempurung bocor
Dengan tekad bulat hendak mengeringkan samudra
Yang satu lagi membawa sebatang lidi
Untuk menyapu, membersihkan seluruh dunia
Keduanya bertemu di jalan, dan bersitegang
Pertengkaran mereka merangsang terjadinya letupan ketegangan lebih meluas, dan terjadinya kekacauan yang menakutkan dimana-mana.
(Ki Sudarko, dalam Kidung-Mohamad Sobary)
Jangan-jangan, pada suatu ketika, tanpa sadar kita-lah dua anak kerdil tersebut. Kita pernah bersikukuh mempertahankan sebuah ide tanpa menyadari reliabilitas ide tersebut. Apakah itu yang disebut idealis?

Ketika berpikir tentang KAMMI (organisasi yang menjadi pilihan ideologis saya ketika mahasiswa), pertanyaan remeh-temeh tersebut menjadi penting. Penting karena telah menjadi rahasia umum bahwa organisasi kepemudaan semacam KAMMI merupakan wadah berkumpulnya “manusia-manusia idealis”. Di KAMMI, kita dididik untuk tak berpikir an sich sebagai individu yang berorientasi pragmatis. Lebih dari itu, kepekaan sosial dan tanggung jawab kebangsaan kita diasah. Maka tak heran, kita menjadi sangat kritis dalam memandang permasalahan bangsa. Kita memiliki deskripsi ideal tentang realitas sekitar, yang pada kenyataannya kita nilai bobrok.

Namun terkadang deskripsi ideal tersebut membuat kita sebagai sosok yang merasa paling benar. Dalam forum-forum diskusi begitu mudah kita menghujat Presiden A, Menteri B, atau Tokoh C. “Seharusnya begini...” atau “Seharusnya kebijakan yang diterapkan adalah...” meluncur tanpa beban dari lisan kita. Atau di lain kesempatan dalam rapat organisasi, seringkali kita berdebat sengit mempertahankan argumen-argumen pribadi. Kita begitu percaya diri dengan konsep ideal yang bahkan belum teruji. Bukan, bukan maksud saya menyalahkan sikap tersebut. Sah-sah saja, negara ini menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi bung!

Saya yakin, insya Allah, sikap tersebut dilandasi niatan tulus untuk mewujudkan perbaikan. Akan sayang jika ideal-ideal yang dilandasi niatan tulus tersebut dibiarkan berserakan tanpa wujud. Ya, tanpa wujud, karena seringkali ide hanya berhenti sebagai ide. Manusia-manusia idealis itu kemudian gagap menerjemahkan idenya dalam tindakan riil. Kondisi tersebut bisa jadi membuat putus asa. Kemudian muncul pemikiran: ideal itu hanya teori, tak pernah membumi. Manusia-manusia ideal itu kalah telak dihantam kepragmatisan realita. Selanjutnya, mereka berubah sosok menjadi kompromis, kemudian pragmatis. Dulunya aktivis yang menghujat sana-sini, sekarang politisi yang dihujat sana-sini. Bukankah sejarah telah membuktikannya?

Kondisi ekstrim tersebut dapat dicegah jika sedari awal disadari. Kita bisa belajar dari sejarah tokoh-tokoh yang dicatat sebagai manusia-manusia idealis yang tak KO dihantam realita. Kita bisa belajar sejarah hidup Soekarno, Hatta, Hamka, Natsir, Kartini, Cut Nyak Dhien, Syahrir. Atau tokoh-tokoh Islam dunia seperti Rasulullah saw., para sahabat Rasul, Hasan al Banna, Zainab Al Ghazali. Kalau perlu, pelaku “antagonis sejarah” seperti Hitler, Lenin, Nero. Tak hanya dari kebaikan, namun kita juga bisa belajar dari kesalahan. Yang sekiranya baik kita ambil, yang buruk kita tinggalkan. Manusia selalu memiliki dua dimensi sifat, tak ada yang sepenuhnya baik juga tak ada yang sepenuhnya buruk. Jangan mengharap sejarah manusia sempurna. Selain Rasulullah saw., tak ada manusia sempurna bukan?
Selain itu, reliabilitas sebuah ide dapat diketahui melalui metode ilmiah. Jangan sampai anggota KAMMI menjadi mahasiswa -entitas akademis- yang miskin nilai-nilai ilmiah. Rangkumlah ideal-ideal tersebut dalam sebuah nuansa ilmiah yang mempertanyakan dan menguji reliabilitasnya. Jika belum reliabel, analisis, dan rumuskan cara bagaimana bisa reliabel.

Semoga DM 2 yang akan datang mampu mengelola ide-ide yang muncul dengan bijaksana.

Salam,
Efris K.

0 komentar:

Posting Komentar