Minggu, 19 Juli 2009

MENANTI “SATRIYO PININGIT” KAMMI

"Untuk berbicara dengan massa rakyat, kita membutuhkan
orasi berkharisma atau berbicara sedikit ilmiah bagi massa intelektual.
Tetapi, untuk berbicara dengan para pemimpin dan
calon pemimpin-pemimpin muda, kita hanya butuh diskusi saja,
berbicara dari hati ke hati…"

Begitulah kiranya yang ada di benak saya ketika harus menuliskan taujih/nasehat bagi kader-kader muda calon pemimpin di KAMMI dan Indonesia kelak…bagi temen-temen peserta Dauroh Marhalah II. Kita hanya perlu berdialog secara cultural dan personal. Karena dalam diri pemimpin pastilah kaya dengan kebijaksanaan…dan karena juga kita lahir rahim yang sama, kakak dan adik sampai kelak…

Sengaja saya ambil tulisan ini kembali, sebuah tema yang saya harapkan bisa memberikan penyadaran dan untuk kemudian menggugah kita untuk maju. Bahwa jalan perjuangan ini tetaplah terhampar panjangnya…dan periode-periode ini adalah periode yang vital bagi keberlanjutan perjuangan kita. Ini adalah masa transisi bagi gerakan KAMMI, dari fase konsolidasinya menuju gerakan menegara…

Dalam filosofi jawa, Satriyo Piningit diidentikkan dengan seorang pahlawan “tersembunyi “ yang akan muncul ke permukaan dari ruang persembunyiannya. Bagi KAMMI, satriyo piningit KAMMI adalah sebuah hal yang misteri dan mungkin terlalu utopis untuk dipercayai. Pemakaian terminologi ini mungkin terkesan jauh dari bahasa-bahasa yang beredar di kita, yaitu serba Arab. Tetapi ini saya gunakan hanya untuk memudahkan ditangkap pembacanya saja. Dalam substansi maknanya, satriyo piningit KAMMI sebenarnya kemunculannya akan sangat dinantikan. Sebagai sebuah organ gerakan yang bervisi mencetak calon-calon pemimpin bangsa, KAMMI membutuhkan kemunculan tokoh-tokoh yang merupakan alumni atau tokoh terbaik KAMMI yang bisa diakui di jagat nasional.

Lebih dari 10 tahun KAMMI lahir, tetapi sangat tidak relevan jika KAMMI berbangga diri telah menghasilkan tokoh semacam Fahri Hamzah yang masih belum diakui sebagai tokoh muda bangsa. Kiprah kader-kader dan alumni KAMMI masih jauh dari predikat tokoh nasional. Bandingkan dengan PRD yang menelurkan Budiman Sudjatmiko, HMI dengan kemunculan 'titisan' Nurcholis Madjid, yaitu Anas Urbaningrum, GMNI dengan seabrek tokoh-tokoh pejabatnya, Saifulloh Yusuf dari PMII.

Pentingkah memiliki tokoh ? jawabnya : penting. Karena itu adalah pra-syarat dari kebesaran sebuah organisasi, yang tentu juga kebesaran efek keberadaan organisasi bagi masyarakat. Tokoh bukan segalanya, tetapi memiliki tokoh adalah pra-syarat bagi sebuah organisasi bisa dikatakan besar.

Bagi dakwah yang menegara, kebesaran dalam konstelasi negara adalah indikasi kebesaran dakwahnya juga. Karena itua adalah logika sederhana yang merupakan cabang dari filsafat gerakan. Dan itu sangat empirik, bukan subyektif....

Sayang, membicarakan bagaimana mencetak tokoh tidaklah semudah membicarakan jalannya pertandingan bola. Karena selain membicarakan sebuah sepak terjang dan penggemblengan prestasi, untuk memproduksi tokoh juga harus mengkaji sejauh mana sistem di dalam organisasinya bisa menjadi faktor pendukung yang utama, logis dan kuat. Dalam istilahnya, bagaimana mau menghasilkan tokoh besar, jika organisasinya tidak cukup kuat menjadi faktor pendukung munculnya tokoh-tokoh besar ?.

Mari kita sekarang berbicara diatas realitas, karena ruang diskusi kita sudah lewat, dan medan amal nyata di depan mata.


Muslim Negarawan di Persimpangan Jalan ;
Dari Kanan Menuju Tengah, Dari Gerakan ke Negara

Sahabat – sahabat KAMMI..

Suatu saat, dalam diskusi dengan salah satu fungsionaris pusat, penulis mendapatkan statemen yang cukup lucu terlontar :
” Muslim Negarawan ? itu Muslim Negarawan ngga jelas mau apa...”

Membicarakan visi pengkaderan Muslim Negarawan, memang bisa menjadi salah satu pisau analisa untuk mengupas sejauhmana korelasi positif pembangunan kader tersebut terhadap munculnya tokoh yang diakui di nasional. Dalam konteks ketatanegaraan, kita harus mengakui bahwa tawaran ideologi Islam formalistik semakin jauh untuk disetujui para stakeholder negara. Tawaran moderasinya adalah ideologi pertengahan, yang sering diidentikkan dengan istilah ideologi Nasionalis-Religius. Begitupun juga terhadap kontribusi tokoh, tokoh yang muncul dengan bahasa dan baju terlalu ”kanan” semakin tidak dianut pendapat-pendapatnya. Begitu juga yang mengumbar bahasa ke ”kiri” dan nasionalis-sentris juga semakin ditinggalkan fatwa-fatwanya. Sebaliknya, tokoh yang tampil di tengah-tengah dan berbicara soft-mind konstruktif terhadap negara mendapat semacam ”aplaus” dari khalayak.
Bagaimana dengan Islamnya-KAMMI memandang hal itu ? untuk menjawab itu, saya akan kutipkan sebuah diskusi antara pemimpin-pemimpin di KAMMI se-Indonesia dengan Bapak Jimly Ashidiqie, pada saat kunjungan Pra-Muktamar tahun lalu di kediaman Beliau.

Beliau berkata :
" Tokoh Negarawan yang paling awal dan luarbiasa dalam sejarah kepemimpinan dunia adalah : Nabi Muhammad (Nabi-nya orang beragama Islam). Karena Beliaulah yang telah menunjukkan sikap politik par-exellence (terbaik, elegan) yaitu :

menghapuskan kalimat "Bismillaahirrohmaanirrohiim" sebagai kalimat pembuka (mukaddimah) Piagam Madinah, dan sekaligus juga meniadakan kalimat "Muhammad Rosululloh" sebagai kalimat penutupnya.

Itu semua karena tuntutan dari kaum Yahudi. Rasululloh-pun menyetujuinya dan kemudian naskah Piagam Madinah ditetapkan bersama. Dan kita semua tahu, bahwa Piagam Madinah adalah masterpiece yang luarbiasa dalam sejarah kepemimpinan Islam dan dunia. Dan tidak pernah terulang kembali sepanjang sejarah Islam dan dunia. Itulah luarbiasanya Muhammad SAW, seorang negarawan sejati."

Begitulah Prof. Jimly memberikan "kuliah" agama singkat pada kita waktu itu. Semoga bisa menjawabnya, karena juga tentunya kita sudah banyak membaca literatur-literatur yang ada, semacam Teori Politik Islam-nya Dhiauddin Rais, Al Ahkam Ash Shultoniyah-nya Imam Mawardi, Fiqh Daulah-nya Yusuf Qordhowi, atau kalau lebih klasik dengan Mukaddimah-nya Ibnu Kholdun, dlsb.

Kini KAMMI butuh tokoh piningit itu....orang yg tidak terlalu ke kanan dan tidak pula ke kiri..tetapi yang moderat dan tidak konservatif. Karena itu menjadi prasyarat menjadi pemimpin – pemimpin di negara ini...

Sahabat – sahabat KAMMI...

Kemudian juga, siapa yang menyangka KAMMI masih ada hingga sekarang ? saya masih ingat dengan gambaran 5 s.d 7 tahun silam, ketika KAMMI muncul sebagai kekuatan pro-reformasi yang getol bersuara untuk mendobrak pemerintahan yang dipandang tidak berjalan pada rel reformasi. Kalau kita set-back pada view 7 tahun lalu, kemudian kita arahkan pandangan ke 7, 10, 15 dst tahun ke depan, maka apa yang akan kita bayangkan ? Bahwa kita sedang membuat sebuah gerakan jangka panjang...bukan sekedar forum silaturahmi...
Begitulah kiranya saya merasa diajari oleh gerakan ini untuk selalu mempelari sejarah masa lampau, dan sekaligus terus konsisten memperteguh dan mengawal ekspektasi-ekspektasi masa depan yang harus tetap diwujudkan..Karena tanpa itu semua, untuk apa kita dahulu berikrar bergabung dan melibatkan diri berjuang di KAMMI ?.
Bukankah kita ingin menjadi kekuatan baru di negeri ini dalam warna baru ?

Dan bukankah kita ingin menampilkan tokoh – tokoh KAMMI untuk mengisi pos – pos kepemimpinan negara ?

Untuk itulah, dengan bekal pembawaan yang moderat, maka kita akan mampu mem-produksi kader – kader pemimpin bangsa yang bisa diterima semuanya.
Sudah saatnya kita riil-kan proses merapat ke negara. Dan kita tahu harus mulai mencari informasi atau "mengintip", siapa – siapa saja yang sebenarnya stakeholders pengendali negara ini.

Mereka – mereka ada dalam ranah politik sahabat...

Meskipun kemudian berwujud dalam berbagai wajah, bisa politikus, pejabat, pengusaha, akademisi, NGO, pekerja profesional dll...

Bersegeralah melakukan mobilitas vertikal...jangan menunda atau gamang, berjejaringlah dengan semua kelompok dengan totalitas, jangan hanya sekedar kenal, tetapi harus terlibat. Semua stakeholder sekarang menunggu pemuda – pemuda jujur dan baik, dan mungkin (sejauh saya mengembara ke berbagai kelompok) hanya anak KAMMI yang memiliki karakter itu.
Pesan saya, jadilah bintang dalam berbagai tempat dan waktunya. Kemudian jadilah orang moderat, tidak hanya moderat ber-Islam, tetapi moderat menjadi orang Indonesia. Dan terakhir, bersegeralah melakukanya, karena semua tidak pernah dilahirkan instan....ada proses dan perjuangannya....[]


Salam sayang,
C. Agung Wibawanto
AB 3 (Anggota Biasa, Biasa dan Biasa) saja..

0 komentar:

Posting Komentar