Rabu, 10 Juni 2009

Piagam Jakarta

Membicarakan dasar negara selalu menjadi tema kajian yang menarik, termasuk bagi umat Islam, umat terbesar (mayoritas tunggal) yang mendiami negara Indonesia. Sejarah perjalanan bangsa ini telah mencatatkan banyak prosesi-prosesi vital dalam kaitan perumusan konsepsi negara.

Sebuah pertanyaan mendasar saat itu bagi sejarah bangsa ini bukanlah pada kapan proklamasi diadakan atau siapa presidennya tetapi : “ Atas filosofi gronslag negara ini didirikan ?”. Itulah pertanyaan vital saat itu yang telah membawa pusaran diskusi, perdebatan dan konsesi yang kadang menyeret founding fathers bangsa ini ke dalam pembicaraan yang panjang sebelum, menjelang dan pasca kemerdekaan diproklamirkan 17 agustus 1945.

Diawali pada tanggal 7 september 1944, ketika Kekaisaran Jepang mengumumkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia setelah kalah dalam perang Asia Timur Raya. 7 bulan setelah itu atau tanggal 29 april 1945 dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang akan bertugas merumuskan prosesi kemerdekaan Indonesia. Tidak tanggung- tanggung, 6o orang terpilih masuk didalamnya. Badan yang diketuai Dr. Radjiman Wedyodiningrat ini tercatat melaksanakan (hanya) dua kali sidang saja tetapi cukup vital bagi keberlangsungan perumusan konsepsi negara, yaitu sidang pertama antara tanggal 29 mei s/d 1 juni 1945, kemudian sidang kedua antara 10 juli s/d 16 juli 1945.

Lahirnya Pancasila (Soekarno)

Pada sidang pertama BPUPKI, Soekarno yang mendapat giliran menyampaikan pidatonya menyampaikan pendapatnya. :

“ Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua Mulia ialah, dalam bahasa belanda : Philosofische gronslag daripada Indonesia merdeka. Philosofische gronslag itulah fundamen filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indoensia Merdeka yang kekal dan abadi”.

Soekarno lantas mengajukan lima asas negara yaitu : Kebangsaan, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan, yang kemudian menamakannya dengan “ Pancasila”. Soekarno “ memeras” lima sila tersebut menjadi tiga (Tri Sila) yaitu : sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan. Bahkan “diperas” lagi menjadi satu sila yaitu “gotong royong”.

“ …alangkah hebatnya ! negara gotong royong !”, begitu perkataannnya dengan berapi-api.

Adalah menjadi hal yang menarik ketika kita telusuri pidato M. Yamin (3 hari sebelum pidato Soekarno) yang juga memberikan rumusan dasar negara atas 5 sila yang sangat mirip atau sama seperti yang diutarakan Soekarno yaitu : Peri kebangsan, Peri kemanusiaan, Peri keTuhanan, Peri kerakyatan, dan Kesejahteraan rakyat. M. Roem, seorang pemimpin Masyumi saat itu memandang :

“ Tema dari kedua pidato itu sama, jumlah prinsip atau dasar sama –sama lima, malah sama juga panjangnya pidato, yaitu dua puluh halaman dalam “naskah” tersebut”.

B.J. Boland dalam bukunya The Struggle of Islam Modern Indonesia mencatat bahwa atas dasar kesamaan ini, maka orang sampai pada kesimpulan bahwa :
“ The Pancasila was in fact a creation of Yamin’s, and not Soekarno’s (Pancasila itu ternyata karya Yamin dan bukan karya Soekarno)”.

Muhammad Hatta-lah yang kemudian “gigih” membantah anggapan tersebut dan memperkuat bahwa Soekarno-lah perumus pertama “Pancasila”. Seperi kita ketahui juga bahwa lima asas tersebut adalah terjemah dari nafas gerakan Marhaen (yang selama ini dianutnya) ditambah Ketuhanan. Soekarno dalam merumuskan tidak lepas dari wacana tokoh lain, seperti seorang sosialis bernama A. Baars ketika di Surabaya dan yang utama adalah gagasan San Min Chu I oleh pemimpin China Sun Yat Sen.

Darimana kemudian Soekarno mendapatkan kata “ketuhanan” dalam lima asasnya ?. tidak bisa dipungkiri, prinsip Ketuhanan yang didapatnya adalah hasil adopsi dari uraian-uraian para pemimpin Islam yang telah berbicara mendahului pidato Soekarno. Jadi semacam “kesimpulan” atau “rangkuman” dari pidato –pidato sebelumnya (Soekarno menyampaikan pidato terakhir dalam sidang BPUPKI).

“ Pidato yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan sebelumya”. Begitu komentar M. Roem.

Lahirnya Piagam Jakarta
Pada tanggal 31 mei 1945, Supomo berkata dalam sidang :
“ Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam”.

Seorang anggota BPUPKI, A. Kahar Muzakkir menggambarkan apa yang terjadi di BPUPKI di depan sidang konstituante bahwa hanyalah 25 % anggota badan penyelidik yang mewakili Islam. Pembahasan berkisar pada masalah (1) dasar negara, dimana didapatkan 45 suara memilih dasar kebangsaan dan 15 anggota memilih dasar Islam, sedang masalah (2) bentuk pemerintahan (negara), didapatkan 53 suara memilih Republik dan hanya 7 suara memilih bentuk Kerajaan.

Pada akhirnya, BPUPKI menunjuk Panitia Kecil atau lebih dikenal dengan Panitia Sembilan (yang kelak merumuskan Piagam Jakarta) yang terdiri dari :
1. Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo sebagai representasi nasionalis sekuler
2. Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Abdul Wahid Hasjim sebagai representasi nasionalis Islam
3. A.A. Maramis wakil Kristen, dan
4. M. Yamin, pendiri Partai Persatuan Indonesia yang berazaskan sosial nasionalisme dan sosial demokrasi
Panitia Sembilan inilah kemudian pada tanggal 22 juni 1945 berhasil merumuskan rancangan preambule (mukaddimah) yang akan menjadi ruh dari pendasaran negara ini. Bahkan Soekarno mengakui dengan menyatakan:
“ ....Allah subhana wa ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan”.

Isi dari preambule yang kemudian kita kenal dengan Piagam Jakarta (The Jakarta Charter) sebagaimana disampaikan oleh Soekarno dalam BPUPKI pada tanggal 10 juli 1945 adalah sebagai berikut :

” Pembukaan : bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan Peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indoensia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluurh tmupah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasksan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”.

Itulah naskah preambul yang asli yang merupakan merupakan naskah hasil ”kompromis” semua keyakinan. Seperti yang disampaikan Soekarno : ” ..bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dekoritsu Zyunbi Tyoosakai”. Inilah episode awal dari perjalanan panjang terbentuknya Piagam Jakarta.
Hari-hari berikutnya adalah masa-masa yang panjang tentang penyikapan, perdebatan hasil Keputusan BPUPKI tentang Piagam Jakarta yang nantinya akan membelokkan arah dan eksistensi Piagam Jakarta yang berarti juga membelokkan arah perjuangan kemerdekaan bangsa ini.

Tidak bisa dipungkiri, kalimat ”sakral” : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi bahan sorotan semua elemen bangsa saat itu. Bahkan sehari setelah Soeakarno menyampaikan isi Piagam Jakarta, seorang anggotan BPUPKI dari kalangan Protestan, Latuharhari menyatakan keberatannya atas kalimat tersebut. Dia manyampaikan :
” Akibatnya mungkin besar. Terutama terhadap agama lain”,...kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan terhadap adat-istiadat”.

Haji Agus Salim seketika menjawab :
” Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu orang-orang yang beragama lain tidak perlu khawatir: keamanan orang-orang itu tidak tergantung pada kekuasaan, tetapi, pada adatnya umat Islam yang 90% itu ”.

Ditambah lagi kemudian Soekarno memperingatkan segenap anggota bahwa preambule itu adalah suatu hasil jerih-payah antara antara golongan Islam dan kebangsaan.
” Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam”. Tandasnya

Berikutnya muncul tanggapan lagi dari anggota lain, tetapi sekali lagi jawaban yang diberikan baik oleh Soekarno maupun pihak Islam adalah bahwa kalimat tersebut adalah hasil permusyawaratan dan titik kompromis telah dicapai dengan susah payah.
Preambule telah diterima semua, kemudian Soekarno membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang terdiri dari : Supomo (ketua), Wongsonegoro, Soebardjo, Maramis, Singgih, Agus Salim dan Sukiman. Pembicaraan tentang batang tubuh UUD-pun bergulir. Dimulai dari syarat Presiden dan Wakil, tentang kebebasan memeluk agama. A. Wahid Hasjim yang mengajukan syarat Presiden dan Wakil beragama Islam dan agama negara adalah Islam karena berkaitan penerapan nilai-nilai Islam dan pembelaan negara. Hal ini kemudian tidak disetujui H. Agus Salim yang merupakan juru bicara Islam karena belum satu nafas dengan preambule. Lebih tegas lagi, Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan pemimpin Muhammadiyah menyatakan tidak setuju dengan rumusan anak kalimat sila pertama tersebut. Beliau malah mengusulkan dihilangkannya kata-kata : ” bagi pemeluk-pemeluknya. Itulah sedikit potret kelompok nasionalis Islam yang memang merindukan Islam tampil menjadi dasar negara seutuhnya. Tetapi dengan ”kelapangan” pihak Islam dan kebangsaan naskah asli tetap dipertahankan dengan alasan sebagai buah kompromi yang terbaik. Yang kemudian Ki Bagus bisa menerima setelah Abikoesno menjelaskan (: mengingatkan) ulang akan sebuah ”Gentleman’s agreement” yang telah disepakati semua pihak. Bahkan ketika ketua umum BPUPKI menanyakan ulang kepada anggota sidang :
” Jadi apakah saya bisa menentukan, bahwa usul Panitia tentang Pernyataan dan Pembukaan ini..diterima bulat ?”, dijawab serentak oleh sidang : ”Bulat ?”.

Itulah sekelumit cerita tentang lahirnya Piagam Jakarta, sebuah Masterpiece buah karya Founding father’s bangsa ini. Meskipun episode berikutnya Piagam Dasar ini dirubah oleh PPKI yang diketuai M. Hatta sehari setelah proklamasi dikarenakan ”munculnya’ opsir tidak dikenal yang mengaku membawa keberatan pihak katholik dan protestan dari Indonesia bagian timur atas anak kalimat sila pertama. Anehnya, tidak satupun pihak nasionalis Islam (dari Panitia Sembilan) yang menandatangani perubahan Piagam tersebut. Dan Piagam Jakarta asli urung menjadi dasar negara ini....[]

0 komentar:

Posting Komentar