Senin, 29 Juni 2009

Bertanya Kepada Tuhannya Taman Kunir

(Catatan Reflektif Untuk Nasib Taman Kunir Malang)


Tanah yang kira – kira berukuran 12 m x 8 m itu menjadi semacam bunderan di tengah- tengah perkampungan (perumahan) penduduk yang kebanyakan warga keturunan. Dibanding dengan hutan Malabar di sebelah tenggara, luas taman kunir tidaklah seberapa. Konon, daerah taman kunir yang berada dalam kelurahan oro-oro dowo kecamatan Klojen ini dahulu dihuni oleh warga Belanda. Kemudian berganti-ganti dan sekarang hanya tinggal satu kompleks rumah orang pribumi di sana. Meskipun demikian, warga pribumi tidak terputus dari keberadaan taman kunir. Warga pribumi yang kebanyakan berada di sebelah utara taman memiliki ikatan cukup erat dengan taman ini. Menurut salah satu penduduk yang sempat bersua dengan saya mengatakan bahwa ada salah satu penduduk yang sekarang telah menetap di Swedia sampai membuat sebuah lirik lagu untuk Taman Kunir untuk mengobati kerinduannya akan tanah kelahiran dan Taman Kunir.

Lahan kecil itu kini menjadi polemik. Pemerintah kota ingin membangun kantor kelurahan oro – oro dowo yang baru di atas lahan taman kunir, sementara warga sekitar tidak setuju kalau lahan taman kunir yang digunakan. Warga menolak karena lahan taman kunir adalah lahan yang harus dilestarikan. Mengacu pada perda RTRW no 7/2001 maka lahan taman kunir adalah termasuk lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tidak boleh dialihfungsikan.

Masalah menjadi semakin panjang ketika pemerintah kota (yang dipimpin oleh walikota Peni) ngotot dengan turun langsung mem-back-up pihak kelurahan untuk membangun kantor yang baru. Padahal seharusnya walikota Peni secara arif menyerahkan kewenangan sepenuhnya pada musyawarah warga kelurahan oro-oro dowo. Jadi apa tidaknya seharusnya biarlah warga dan pihak kelurahan yang memusyawarahkannya baik-baik, toh itu juga untuk kepentingan warga di sana, rakyatnya sendiri.

Kalau kita amati, terkesan kurang terawat memang taman ini. Seharusnya menjadi tugas dari dinas pertamanan untuk merawatnya. Disengaja atau tidak, taman yang dilindungi oleh produk peraturan baik Gubernur dan perda sebagai lahan konservasi ini terkesan jarang sekali tersentuh siraman air seperti layaknya sebuah taman konservasi seperti taman Ijen dan sepanjang jalan veteran yang sering kita lihat di sore hari selalu mendapatkan siraman dari truk-truk tangki air dinas pertamanan. Ya, memang taman kunir bukanlah taman seluas hutan Malabar atau hutan tanjung (dulunya). Taman kunir tetaplah taman kunir, meski kecil dia adalah sebuah taman konservasi yang harus dijaga keberadaannya.

Kini, taman kunir sedang menanti nasib apa yang akan menjadi perjalanan hidupnya. Melalui tangan – tangan manusia yang memperoleh mandat mengelolanya, garis hidup taman kunir akan ditentukan Tuhannya. Melalui tangan Tuhannya pula, masa depan taman kunir akan tergambar. Sebuah takdir yang tidak perlu kita kutuk kelak. Tidak perlu membagi warga malang menjadi dua kubu, kubu pro pengalihfungsian taman kunir dan kubu penyelamat taman kunir. Karena itu akan kembali memecah belah persatuan warga malang yang selama ini selalu tercabik-cabik, mulai kasus hutan kota Tanjung, kemudian Matos, kemudian renovasi stadion gajayana dan sekarang taman kunir. Tidak perlu mengulang kembali, karena akan membuat untung pihak yang memanfatkan ini semua, entah berwajah Pemkot atau walikota Peni atau investor. Semua telah digariskan Tuhannya taman kunir, Dialah yang akan memutuskan diantara dua hal : menghapus keberadaan taman kunir atau menyelamatkannya dari segenap upaya manusia – manusia serakah yang (kembali) ingin merusak ciptaannya.

Apalah arti suara bahkan teriakan nurani ketika harus dihadapkan dengan premanisme penguasa. Apalah guna seribu peringatan kalau hanya didengar dengan telinga kedunguan. Apalah arti gugatan – gugatan hukum kalau semua menjadi mudah terbeli. Dan sekian apalah – apalah yang lainnya. Tetapi perjuangan tetaplah akan menjadi perjuangan, paling tidak menjadi catatan bagi Tuhannya taman kunir. Bahwa ada manusia yang sekuat tenaga memperjuangkannya dan ada juga manusia yang memperjuangkan menghancurkannya.

Dalam kumpulan prosa liris yang berasal dari pedalaman Sumatera berjudul “ Nyanyian Panjang Bujang Tan Domang” dilukiskan kelakuan bijak burung pipit dan burung enggang :
Makan jangan menghabiskan, Minum jangan mengeringkan. Makanan enggang tak tertelan oleh pipit. Makanan pipit jangan dihabiskan enggang. Itulah hidup bertenggangan, Hidup senasib sepenanggunga.

Begitulah burung pipit dan enggang hidup berdampingan. Tidak mengambil hak satu dengan lain, karena semua telah digariskan rezekinya masing-masing. Begitu juga manusia, haknya terhadap lingkungan harus secara arif dimanfaatkan. Jangan sampai keserakahan mengantarkan pada kehancuran, Tuhannya taman kunir tidak pernah tidur, Dia selalu mengamati tiap detik, tiap jenak apa yang ada di pikiran masing-masing warga dan pemerintah kota malang.

Tuhan memberikan hawa nafsu kepada manusia. Nafsu yang mengarah kepada kebaikan dan nafsu yang mengarah kepada keburukan. Nafsu kebaikan membimbing manusia bertindak secara arif dan bijak terhadap lingkungan hidupnya. Nafsu keburukan akan memperbudak manusia agar senantiasa mengejar materi dengan mengorbankan lingkungan hidup tinggalnya. Tidak perduli keseimbangan jalannya air di dalam tanah, tidak mau tahu semut – semut kecil kemana berteduh dan tidak mau mendengar jeritan-jeritan tanaman yang dibabat habis.

Kehidupan berawal dari keseimbangan dan akan kembali kepada titik keseimbangan. Seperti halnya makhluk lumpur panas di sidoarjo sedang mencari titik keseimbangan dirinya sehingga kembali seperti diawalnya. Pada saatnya ketika dia telah diterima alam sekitarnya dan perut bumi sudah kembali seimbang maka akan berhenti dengan sendirinya.

Maka hari ini tangan manusialah yang akan menjadi penentu, entah warga yang menolak atau pemkot yang memaksakan, semua itu akan dihitung-hitung oleh Tuhannya taman kunir. Bagi warga yang menolak tentunya akan dipertanggungjawabkan masing- masing individu, sedang bagi pemkot tentunya akan ditanggung seorang walikota Peni sebagai pemimpinnya. Tinggal bagaimana masing – masing menyiapkan keberanian di hadapan Tuhannya taman kunir.

Suatu saat jika memang taman kunir ditakdirkan oleh Tuhannya untuk meninggalkan kita, maka yakinlah bahwa Tuhannya telah mengaturnya. Dialah yang akan menyeimbangkan alam ciptaannya sendiri setelah taman kunir tiada, entah dengan cara apa. Meskipun terasa pahit, biarlah Tuhannya taman kunir menjawabnya…..

“ Telah nampak kerusakan di darat dan di laut (disebabkan) karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. QS 30 : 44

0 komentar:

Posting Komentar